Rabu, 26 Agustus 2009

Sejarah Singkat Penerbangan Garuda Indonesia ( I )


Penerbangan Pertama
Penerbangan komersial Republik Indonesia dimulai pada tanggal 26 Januari 1949 dari Calcuta ke Rangoon mengunakan pesawat tipe Douglas DC-3 Dakota RI 001 dengan nama Seulawah (Gunung Emas)

Membawa Dunia ke Bali
Garuda Indonesia pertama kali membuka gerbang penerbangan international ke Bali pada tahun 1951 dengan menggunakan Douglas DC-3 Dakota. Pulau Bali sampai saat ini dikenal sebagai salah satu “Pulau wisata Terbaik di Dunia” dan Garuda Indonesia memegang peranan penting dalam menjadikan Bali sebagai tujuan wisata dunia.

Konferensi Asia-Afrika, 1955
Konferensi Asia-Afrika pertama dikalsanakan di kota Bandung pada tanggal 19 April 1955. Sebagian besar kepala negara dari 29 negara kawasan Asia dan Afrika terbang menggunakan pesawat Garuda Indonesia dari Bandar udara Kemayoran Jakarta Utara menuju Bandung.

Naik Haji ke Tanah Sutji
Pada bulan Juni 1956 untuk pertama kalinya Garuda Indonesia menerbangkan 40 orang jamaah untuk menunaikan ibadah haji menggunakan pesawat tipe Convair 340. Sampai saat ini Garuda Indonesia telah menerbangkan lebih dari 100.000 jemaah ke Mekkah setiap tahunnya.

Penerbangan Pesawat Jet Pertama dari Indonesia
Pada tahun 1965, Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan pertama di Asia Tenggara yang memiliki layanan antar benua menggunakan teknologi pesawat jet tipe Convair 990A. Inilah pesawat komersial pertama yang dilengkapi dengan mesin jet turbo dan sampai saat ini masih tercatat sebagai pesawat sipil sub-sonic tercepat yang pernah dibuat.

Terbang Lebih Tinggi
Garuda Indonesia mengembangkan armadanya dengan pesawat jet mulai tahun 1977, diawali dengan penggantian turbo Fokker F-17 Friendship dengan pesawat twinjet Fokker F-28 Mk 3000 Fellowship. Pergantian armada Garuda Indonesia juga meliputi 4 pesawat berbadan lebar Douglas DC-10, 3 Douglas DC-8, 18 McDonnell Douglas DC-9 dan 32 Fokker F-28. Keseluruhan armada jet tersebut memungkinkan Garuda Indonesia menawarkan kenyamanan penerbangan baru yang dapat lebih diandalkan ke seluruh wilayah di Indonesia.

Selasa, 25 Agustus 2009

Telanjur Ditawan, Ternyata Salah Paham

Upaya Bung Tomo mengajak warga Surabaya mengangkat senjata membuat gerah banyak pihak. Tidak hanya sekutu, namun juga tentara republik. Dia sempat ditawan, namun kemudian dilepaskan. Di ujung Kampung Blauran, pukul 1.30 WIB, pertengahan Oktober 1945, Dr Moestopo dan Roestam Zain datang ke Rumah mungil ini. Moestopo memakai baju hitam dan ikat kepala, sedangkan Roestam bersenjata lengkap.

Moestopo mengusulkan penjagaan bersenjata di depan rumah Bung Tomo. Namun, si Bung menolak halus. “Sudahlah, mas. Rakyat di kampung ini cukup waspada untuk menjaga keselamatan diriku. Mereka itu selalu bergiliran berpatroli di halaman rumahku…”

Tetapi, Moestopo tetap mendesak. “Tetapi, ingatlah pula, orang orang NICA mungkin selalu mengintai Saudara… Terutama setelah mereka mendengar pidato-pidato Saudara…”

Esok hari, Bung Tomo keluar rumah, mampir di kantor berita Antara di pojokan Jl Tunjungan dan Jl Embong Malang, sekarang Museum Pers. Dia mengatur serah terima setelah mundur jadi pimpinan redaksi. Siang hari, si Bung pulang lagi ke Blauran.

Namun, kali ini ada yang berubah dari air muka orang tua si Bung. Mereka tidak menyapa dan hanya melihat. “Tak jarang aku merasa perlu memeluk ibuku, sekadar menenteramkan jiwa yang gelisah. Ibu yang kusayangi itu hanya berdiam diri, memandang ke depan. Kadang hanya anggukan kepala yang menandakan kepadaku bahwa beliau mengerti maksudku,” kenangnya.

Telepon rumah si Bung berbunyi. Di ujung telepon seseorang mengonfirmasi rapat pucuk pimpinan pemberontakan. Bung Tomo menjawab pukul 5.00 WIB sore. Dia kemudian makan siang, tidak lama datanglah Hilmi. Pemuda yang dikenalnya sebagai pelopor Organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya. Kini tak tampak senyum Hilmi ke Bung Tomo. Dia memasang tampang tidak bersahabat.

“Di balik pintu tengah rumahku, aku melihat ibu memandang ke arah diriku. Air mata beliau berlinang.” Berkatalah saudara Hilmi, “Saya harap Saudara ke markas Pemuda Republik Indonesia. Kawan-kawan meminta Saudara datang.”

Saya jawab, “Maaf, saya nanti pukul 5 ada rapat.” Namun Hilmi meninggikan frekwensi suaranya. “Saudara harus datang sekarang. Kalau dengan cara halus Saudara tidak suka. Saya terpaksa akan mengambil jalan kekerasan.”

Si Tomo berubah cemas. Dia merasa sedang dalam bahaya. Dia baru sadar ketika keluar rumah. Puluhan pemuda bersenjata lengkap telah mengepung rumah ini. Si Tomo diangkut truk dibawa ke markas PRI di Simpang. Sekarang markas itu menjadi Balai Pemuda.

Setelah sampai di markas pemuda di Simpang, si Bung dibawa masuk ke ruang intelligence service atau penyelidikan yang dipimpin Restam Zain. “Saat menuju ke tempat Saudara Roestam Zain, nampaklah olehku bahwa kemana mana aku pergi seorang lasykar dengan bayonet terhunus senantiasa mengikuti jejakku. Taulah aku bahwa kini akau seorang tawanan.”

Sampai pukul 5, Bung Tomo diperlalukan seperti tawanan lain, bercampur dengan tawanan Belanda. tidak mendapat makan dan hanya mengais cokelat di tumpukan barang milik tawanan Belanda. Penawanan si Bung berakhir pukul 6.30, Ketika Roestam menelepon Soedjono, seorang komisaris polisi bawahan Markas Dr Moestopo. “Ini bung kecil disuruh tahan di sini apa perkaranya?” tanya Roestam. Hanya beberapa detik pembicaraan itu berakhir, Roestam kemudian tersenyum dan menutup telepon. Kemudian menghampiri Si Bung.

“Hanya salah paham,” kata dia. Dijelaskannya, markas tentara pimpinan Moestopo siang hari tadi memang memerintahkan PRI “melindungi” Bung Tomo. Moestopo meminta PRI “melindungi” karena tentara atau polisi tidak mungkin menjaga pemimpin tidak resmi seperti Si Bung. Nah perintah “melindungi” ini diterjemahkan PRI sebagai menawan seperti perintah melindungi warga Belanda yang maksudnya menawan. (kuncarsono prasetyo Surya Online)

Jumat, 21 Agustus 2009

PANGERAN DIPONEGORO (1785-1855)

Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat secara mendadak pada tahun 1822, atas persetujuan Belanda yang ditunjuk menggantikannya adalah Pangeran Menol yang baru berusia tiga tahun. Karena ia belum dewasa maka dibentuk dewan perwalian yang bertugas mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan. Dewan itu terdiridari permaisuri Sultan Hamengku Buwono III ( Ibunda Sultan hamengku Buwono IV, Pangeran Mangkubumi (putra Sultan Hamengku Buwono) dan Pangeran Diponegoro (putra Sultan Hamengku Buwono III).
Secara bertahap anggota dewan itu disingkirkan dan diganti oleh Patih Danurejo IV yang sangat memihak pada Belanda. Kekecewaan terhadap pemerintahan kerajaan yang dalam bidang politik sangat dipengaruhi oleh Belanda, menyebabkan Pangeran Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo. Diluar Istana terdapat kekecewaan di kalangan sebagaian besar rakyat, khususnya petani. Hal itu disebabkan oleh tekanan pajak dan kerja wajib, juga dari tindakan raja mengijinkan penyewaan tanah pada perkebunan-perkebunan swasta asing. Tak ketinggalan para bangsawan menyewakan tanah lungguh mereka pada pihak asing.Dalam keadaan hidup yang sulit itu, rakyat menemukan bahwa dalam diri Pangeran Diponegoro mereka mendapatkan jalan. Hal ini tampak ketika terjadi kerusuhan mengenai pembuatan jalan melalui tanah Tegalrejo tanpa seizin Diponegoro. Insiden pamasangan tonggak jalan yang terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak.
Dengan perantaraan Pangeran Mangkubumi, Residen Smisaert meminta Pangeran Diponegoro untuk datang ke kantor Residen, tetapi Pangeran Diponegoro menolak. Pangeran mangkubumi justru mendapat ancaman karena tidak berhasil melunakkan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Mangkubumi hendak menulis jawaban kepada Residen, pasukan Belanda telah mendahului menembakan meriamnya. Pangeran mangkubumi bersama Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri melalui pintu samping. Rumah, Masjid serta harta milik pangeran Diponegoro dibakar habis. Pangeran Diponegoro kemudian memusatkan pertahanannya di daerah Selarong.
Dukungan pada perjuangan Diponegoro meluas, tidak terbatas pada rakyat petani dan para pengeran, tetapi juga para ulama. Mereka menggabungkan diri termasuk seorang ulama besar Kyai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo, seorang bangsawan yang kemudian menjadi panglima utamanya. Dua kali Jendral de Kock mengirimkan surat kepada Diponegoro tertanggal 7 Agustus 1825 dan 14 Agustus 1825 untuk menawarkan perdamaian. Ajakan itu tidak mendapatkan tanggapan. Kemudian Belanda menyediakan hadiah uang 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro hidup atau mati. Usaha Belanda itu mengalami kegagalan karena rakyat tetap setia kepada pemimpin mereka.
Diberbagai medan pertempuran, seperti di Kedu, Kulon Progo, Gunung Kidul, Sukowati, Semarang, Madiun, Magetan dan Kediri Belanda tidak mendapatkan kemenangan yang berarti.
Rupanya Belanda menyadari banyaknya dukungan rakyat kepada peminpin mereka yang dianggap sebagai perwujudan Ratu Adil atau Erucakra. Oleh karena itu, pada tahun 1827 taktik “benteng stelsel” diterapkan. Disetiap daerah yang berhasil dikuaisai, didirikan benteng yang berhubungan dengan benteng sebelumnya lewat prasarana jalan, perbekalan dan patroli serdadu yang teratur. Strategi ini membawa kemajuan dengan tertangkapnya sejumlah panglima perang seperti Sentot Alibasyah dan Pangeran mangkubumi. Namun perlawanan Diponegoro tetap berlangsung dan menambah rasa antipati rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Jendral de Kock kemudian melancarkan strategi “meja perundingan” dengan mengajak Diponegoro berunding. Secara rahasia dia menginstruksikan bila perundingan itu gagal maka Diponegoro harus ditangkap. Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, Pangeran menolak syarat-syarat yang diajukan Belanda. Akibatnya pada tanggal 28 Maret 1830, pejuang dari Tegalrejo itu ditangkap dan dibuang ke Menado. Beberapa waktu kemudian, dia dipindahkan ke Ujung Pandang hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

Kamis, 06 Agustus 2009

Locomotif Jadul





20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional (2)

Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa organisasi Boedhi Oetomo (BO) sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga akhirnya mereka berdua hengkang dari BO.

Tiga tahun sebelum BO di bentuk, H. samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Syarikat Islam (SI – awalnya Syarikat Dagang Islam atau disingkat SDI) di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia”, tulis KH. Firdaus AN.
Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura – juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura – sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku, seperti : Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatra Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut – SI dan BO – maka dibawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya :
TUJUAN :
• SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya.
• BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran dasar BO Pasal 2).
SIFAT:
• SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia.
• BO bersifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura.
BAHASA:
• SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia.
• BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda.
SIKAP TERHADAP BELANDA:
• SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda.
• BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda, karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah Belanda.
SIKAP TERHADAP AGAMA:
• SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya.
• BO bersikap anti Islam dan anti Arab (Dibenarkan oleh sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)
PERJUANGAN KEMERDEKAAN:
• SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan.
• BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan.
KORBAN PERJUANGAN:
• Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat.
• anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak mati dan dibuang ke Digul.
KERAKYATAN:
• SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan.
• BO besifat feodal dan keningratan.
MELAWAN ARUS:
• SI berjuang melawan arus penjajahan.
• BO menurutkan kemauan arus penjajahan.
KELAHIRAN:
• SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905.
• BO baru lahir pada 20 Mei 1908.
SEHARUSNYA 16 OKTOBER
Hari kebangkitan nasional yang sejak tahun 1948 kadung di peringati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apapun yang masuk akal dan logis untuk menolak hari ini. Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka kita perlu khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Dan kita juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.
Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebgai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional” (Tamat)/ Rizki Ridyasmara.( naskah dari Konspirasi)

Rabu, 05 Agustus 2009

Foto Mbah Surip waktu muda





















Dari kiri bawah searah jarum jam, (1) Mbah Surip waktu di SDN Purwotengah II Kota Mojokerto, (2) Sekolah Tehnik Jurusan Mesin Thn 1978, (3) Foto dari sertifikat Bimbingan Program Studi Unsuri thn 1979. (4) Sebelum meninggal.
(didapat dari Blog Lucu, Keindahan, Tehnologi)


Senin, 03 Agustus 2009

20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional (1)

Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, sesungguhnya amat tidak patut dan tidak pantas diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota freemasonry Belanda (Vritmejselareen).


Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para pengusaha sekuler. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasional, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan yang teramat nyata.
Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita. Bahkan secara menyedihkan, ada sejumlah tokoh Islam dan para ustadz selebritis yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei di berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah melakukan sesuatu tanpa memahami esensi dibalik hal yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah mewajibkan umatnya untuk bersikap “Ilmu qabla amal” (Ilmu sebelummengamalkan), yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk perkara sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.
Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan; orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.
Agar tidak terperosok berkali-kali ke dalam lobang yang sama, sesuatu yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekalipun, ada baiknya kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.
Pendukung penjajahan Belanda
Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar, pagi-pagi telah tergeletek di atas meja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Minanjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” Karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis : “Hadiah kenang-kenangan untuk ananda Rizki Ridyasmara dari penulis, semoga bermamfa’at!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20/2/2003.
KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun, pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemaren terjadi. Selain topik penghianatan The Founding- Fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam mukaddimah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.
“BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya”, tegas KH. Firdaus AN.
BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para Ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian ia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia lagi patuh pada induk semangnya.
Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka”, papar KH. Firdaus AN.
Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis, “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang ‘Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging’ berkata : Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu, soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan”.
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam majalah ‘Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya Kiblat!” (M.S) Al-Lisan nomor 24,1938.
Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satupun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja, telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.
Bukan itu saja, dibelakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.Sekertaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri, yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962″ (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Dalam tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia, Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan perbandingannya dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada tanggal 16 Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908.(Bersambung)/Rizki Ridyasmara.( naskah dari Konspirasi)


Hello Assalamu'alaikum sahabat blogger tercinta atau siapapu yang datang kesini. Silahkan baca artikelnya mudah-mudahan bermanfaat kalo sudah baca jangan lupa memberikan komentar, apapun komentarnya, yang enak maupun yang tidak enak, boleh memuji maupun mencela yang penting kasih komentar. Makasih yah.

ZIKIR YANG AMPUH

Award Dari Sahabat

    Award dari Sahabat

Blog Sahabat

Bendera Negara Pengunjung

free counters