Upaya Bung Tomo mengajak warga Surabaya mengangkat senjata membuat gerah banyak pihak. Tidak hanya sekutu, namun juga tentara republik. Dia sempat ditawan, namun kemudian dilepaskan. Di ujung Kampung Blauran, pukul 1.30 WIB, pertengahan Oktober 1945, Dr Moestopo dan Roestam Zain datang ke Rumah mungil ini. Moestopo memakai baju hitam dan ikat kepala, sedangkan Roestam bersenjata lengkap.
Moestopo mengusulkan penjagaan bersenjata di depan rumah Bung Tomo. Namun, si Bung menolak halus. “Sudahlah, mas. Rakyat di kampung ini cukup waspada untuk menjaga keselamatan diriku. Mereka itu selalu bergiliran berpatroli di halaman rumahku…”
Tetapi, Moestopo tetap mendesak. “Tetapi, ingatlah pula, orang orang NICA mungkin selalu mengintai Saudara… Terutama setelah mereka mendengar pidato-pidato Saudara…”
Esok hari, Bung Tomo keluar rumah, mampir di kantor berita Antara di pojokan Jl Tunjungan dan Jl Embong Malang, sekarang Museum Pers. Dia mengatur serah terima setelah mundur jadi pimpinan redaksi. Siang hari, si Bung pulang lagi ke Blauran.
Namun, kali ini ada yang berubah dari air muka orang tua si Bung. Mereka tidak menyapa dan hanya melihat. “Tak jarang aku merasa perlu memeluk ibuku, sekadar menenteramkan jiwa yang gelisah. Ibu yang kusayangi itu hanya berdiam diri, memandang ke depan. Kadang hanya anggukan kepala yang menandakan kepadaku bahwa beliau mengerti maksudku,” kenangnya.
Telepon rumah si Bung berbunyi. Di ujung telepon seseorang mengonfirmasi rapat pucuk pimpinan pemberontakan. Bung Tomo menjawab pukul 5.00 WIB sore. Dia kemudian makan siang, tidak lama datanglah Hilmi. Pemuda yang dikenalnya sebagai pelopor Organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya. Kini tak tampak senyum Hilmi ke Bung Tomo. Dia memasang tampang tidak bersahabat.
“Di balik pintu tengah rumahku, aku melihat ibu memandang ke arah diriku. Air mata beliau berlinang.” Berkatalah saudara Hilmi, “Saya harap Saudara ke markas Pemuda Republik Indonesia. Kawan-kawan meminta Saudara datang.”
Saya jawab, “Maaf, saya nanti pukul 5 ada rapat.” Namun Hilmi meninggikan frekwensi suaranya. “Saudara harus datang sekarang. Kalau dengan cara halus Saudara tidak suka. Saya terpaksa akan mengambil jalan kekerasan.”
Si Tomo berubah cemas. Dia merasa sedang dalam bahaya. Dia baru sadar ketika keluar rumah. Puluhan pemuda bersenjata lengkap telah mengepung rumah ini. Si Tomo diangkut truk dibawa ke markas PRI di Simpang. Sekarang markas itu menjadi Balai Pemuda.
Setelah sampai di markas pemuda di Simpang, si Bung dibawa masuk ke ruang intelligence service atau penyelidikan yang dipimpin Restam Zain. “Saat menuju ke tempat Saudara Roestam Zain, nampaklah olehku bahwa kemana mana aku pergi seorang lasykar dengan bayonet terhunus senantiasa mengikuti jejakku. Taulah aku bahwa kini akau seorang tawanan.”
Sampai pukul 5, Bung Tomo diperlalukan seperti tawanan lain, bercampur dengan tawanan Belanda. tidak mendapat makan dan hanya mengais cokelat di tumpukan barang milik tawanan Belanda. Penawanan si Bung berakhir pukul 6.30, Ketika Roestam menelepon Soedjono, seorang komisaris polisi bawahan Markas Dr Moestopo. “Ini bung kecil disuruh tahan di sini apa perkaranya?” tanya Roestam. Hanya beberapa detik pembicaraan itu berakhir, Roestam kemudian tersenyum dan menutup telepon. Kemudian menghampiri Si Bung.
“Hanya salah paham,” kata dia. Dijelaskannya, markas tentara pimpinan Moestopo siang hari tadi memang memerintahkan PRI “melindungi” Bung Tomo. Moestopo meminta PRI “melindungi” karena tentara atau polisi tidak mungkin menjaga pemimpin tidak resmi seperti Si Bung. Nah perintah “melindungi” ini diterjemahkan PRI sebagai menawan seperti perintah melindungi warga Belanda yang maksudnya menawan. (kuncarsono prasetyo Surya Online)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
terimakasih pa artikelnya mungkin ini pertolongan ALLAH kepada mas tomo
Ternyata budaya salah paham dari dulu sudah ada hingga mendarah daging sampai sekarang yaitu budaya salah tangkap/salah tembak.
@Ginanjar: kalo aparat mmang sdh punya komitmen "tangkap dulu" kalo benar syukur kalo salah lepasin, gampang toh. dari pada ga pernah nangkap..? namanya juga usaha....
Posting Komentar