Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat secara mendadak pada tahun 1822, atas persetujuan Belanda yang ditunjuk menggantikannya adalah Pangeran Menol yang baru berusia tiga tahun. Karena ia belum dewasa maka dibentuk dewan perwalian yang bertugas mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan. Dewan itu terdiridari permaisuri Sultan Hamengku Buwono III ( Ibunda Sultan hamengku Buwono IV, Pangeran Mangkubumi (putra Sultan Hamengku Buwono) dan Pangeran Diponegoro (putra Sultan Hamengku Buwono III).
Secara bertahap anggota dewan itu disingkirkan dan diganti oleh Patih Danurejo IV yang sangat memihak pada Belanda. Kekecewaan terhadap pemerintahan kerajaan yang dalam bidang politik sangat dipengaruhi oleh Belanda, menyebabkan Pangeran Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo. Diluar Istana terdapat kekecewaan di kalangan sebagaian besar rakyat, khususnya petani. Hal itu disebabkan oleh tekanan pajak dan kerja wajib, juga dari tindakan raja mengijinkan penyewaan tanah pada perkebunan-perkebunan swasta asing. Tak ketinggalan para bangsawan menyewakan tanah lungguh mereka pada pihak asing.Dalam keadaan hidup yang sulit itu, rakyat menemukan bahwa dalam diri Pangeran Diponegoro mereka mendapatkan jalan. Hal ini tampak ketika terjadi kerusuhan mengenai pembuatan jalan melalui tanah Tegalrejo tanpa seizin Diponegoro. Insiden pamasangan tonggak jalan yang terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak.
Dengan perantaraan Pangeran Mangkubumi, Residen Smisaert meminta Pangeran Diponegoro untuk datang ke kantor Residen, tetapi Pangeran Diponegoro menolak. Pangeran mangkubumi justru mendapat ancaman karena tidak berhasil melunakkan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Mangkubumi hendak menulis jawaban kepada Residen, pasukan Belanda telah mendahului menembakan meriamnya. Pangeran mangkubumi bersama Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri melalui pintu samping. Rumah, Masjid serta harta milik pangeran Diponegoro dibakar habis. Pangeran Diponegoro kemudian memusatkan pertahanannya di daerah Selarong.
Dukungan pada perjuangan Diponegoro meluas, tidak terbatas pada rakyat petani dan para pengeran, tetapi juga para ulama. Mereka menggabungkan diri termasuk seorang ulama besar Kyai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo, seorang bangsawan yang kemudian menjadi panglima utamanya. Dua kali Jendral de Kock mengirimkan surat kepada Diponegoro tertanggal 7 Agustus 1825 dan 14 Agustus 1825 untuk menawarkan perdamaian. Ajakan itu tidak mendapatkan tanggapan. Kemudian Belanda menyediakan hadiah uang 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro hidup atau mati. Usaha Belanda itu mengalami kegagalan karena rakyat tetap setia kepada pemimpin mereka.
Diberbagai medan pertempuran, seperti di Kedu, Kulon Progo, Gunung Kidul, Sukowati, Semarang, Madiun, Magetan dan Kediri Belanda tidak mendapatkan kemenangan yang berarti.
Rupanya Belanda menyadari banyaknya dukungan rakyat kepada peminpin mereka yang dianggap sebagai perwujudan Ratu Adil atau Erucakra. Oleh karena itu, pada tahun 1827 taktik “benteng stelsel” diterapkan. Disetiap daerah yang berhasil dikuaisai, didirikan benteng yang berhubungan dengan benteng sebelumnya lewat prasarana jalan, perbekalan dan patroli serdadu yang teratur. Strategi ini membawa kemajuan dengan tertangkapnya sejumlah panglima perang seperti Sentot Alibasyah dan Pangeran mangkubumi. Namun perlawanan Diponegoro tetap berlangsung dan menambah rasa antipati rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Jendral de Kock kemudian melancarkan strategi “meja perundingan” dengan mengajak Diponegoro berunding. Secara rahasia dia menginstruksikan bila perundingan itu gagal maka Diponegoro harus ditangkap. Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, Pangeran menolak syarat-syarat yang diajukan Belanda. Akibatnya pada tanggal 28 Maret 1830, pejuang dari Tegalrejo itu ditangkap dan dibuang ke Menado. Beberapa waktu kemudian, dia dipindahkan ke Ujung Pandang hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.
Secara bertahap anggota dewan itu disingkirkan dan diganti oleh Patih Danurejo IV yang sangat memihak pada Belanda. Kekecewaan terhadap pemerintahan kerajaan yang dalam bidang politik sangat dipengaruhi oleh Belanda, menyebabkan Pangeran Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo. Diluar Istana terdapat kekecewaan di kalangan sebagaian besar rakyat, khususnya petani. Hal itu disebabkan oleh tekanan pajak dan kerja wajib, juga dari tindakan raja mengijinkan penyewaan tanah pada perkebunan-perkebunan swasta asing. Tak ketinggalan para bangsawan menyewakan tanah lungguh mereka pada pihak asing.Dalam keadaan hidup yang sulit itu, rakyat menemukan bahwa dalam diri Pangeran Diponegoro mereka mendapatkan jalan. Hal ini tampak ketika terjadi kerusuhan mengenai pembuatan jalan melalui tanah Tegalrejo tanpa seizin Diponegoro. Insiden pamasangan tonggak jalan yang terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak.
Dengan perantaraan Pangeran Mangkubumi, Residen Smisaert meminta Pangeran Diponegoro untuk datang ke kantor Residen, tetapi Pangeran Diponegoro menolak. Pangeran mangkubumi justru mendapat ancaman karena tidak berhasil melunakkan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Mangkubumi hendak menulis jawaban kepada Residen, pasukan Belanda telah mendahului menembakan meriamnya. Pangeran mangkubumi bersama Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri melalui pintu samping. Rumah, Masjid serta harta milik pangeran Diponegoro dibakar habis. Pangeran Diponegoro kemudian memusatkan pertahanannya di daerah Selarong.
Dukungan pada perjuangan Diponegoro meluas, tidak terbatas pada rakyat petani dan para pengeran, tetapi juga para ulama. Mereka menggabungkan diri termasuk seorang ulama besar Kyai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo, seorang bangsawan yang kemudian menjadi panglima utamanya. Dua kali Jendral de Kock mengirimkan surat kepada Diponegoro tertanggal 7 Agustus 1825 dan 14 Agustus 1825 untuk menawarkan perdamaian. Ajakan itu tidak mendapatkan tanggapan. Kemudian Belanda menyediakan hadiah uang 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro hidup atau mati. Usaha Belanda itu mengalami kegagalan karena rakyat tetap setia kepada pemimpin mereka.
Diberbagai medan pertempuran, seperti di Kedu, Kulon Progo, Gunung Kidul, Sukowati, Semarang, Madiun, Magetan dan Kediri Belanda tidak mendapatkan kemenangan yang berarti.
Rupanya Belanda menyadari banyaknya dukungan rakyat kepada peminpin mereka yang dianggap sebagai perwujudan Ratu Adil atau Erucakra. Oleh karena itu, pada tahun 1827 taktik “benteng stelsel” diterapkan. Disetiap daerah yang berhasil dikuaisai, didirikan benteng yang berhubungan dengan benteng sebelumnya lewat prasarana jalan, perbekalan dan patroli serdadu yang teratur. Strategi ini membawa kemajuan dengan tertangkapnya sejumlah panglima perang seperti Sentot Alibasyah dan Pangeran mangkubumi. Namun perlawanan Diponegoro tetap berlangsung dan menambah rasa antipati rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Jendral de Kock kemudian melancarkan strategi “meja perundingan” dengan mengajak Diponegoro berunding. Secara rahasia dia menginstruksikan bila perundingan itu gagal maka Diponegoro harus ditangkap. Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, Pangeran menolak syarat-syarat yang diajukan Belanda. Akibatnya pada tanggal 28 Maret 1830, pejuang dari Tegalrejo itu ditangkap dan dibuang ke Menado. Beberapa waktu kemudian, dia dipindahkan ke Ujung Pandang hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.
2 komentar:
Lumayan buat mengenal pahlawan kita, tapi sepertinya terlalu singkat seritanya
wah mengenal Sejarah lagi nih...
Mantap!!!
Posting Komentar