Kehadiran VOC di Jawa, termasuk Banten sebenarnya hanya mencari beras untuk ditukar dengan komoditi rempah-rempah yang laku keras di pasaran Eropa. Sebelumnya VOC datang ke Daerah timur Indonesia yang kemudian perhatiaannya beralih ke Pulau Jawa.
Belanda dengan Banten tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya kota Batavia yang dirintis oleh Jan Pieterszoonb Coen yang semula berpangkat kepala Tata Buku kongsi dagang VOC di Banten. Taktik VOC yang licik dan curang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara pengeran kerajaan Banten di Batavia. Pangerang Mangkubumi yang menjadi wali Sultan yang masih kanak-kanak lebih dekat dengan VOC sedangkan Pengeran Jayakarta yang berkedudukan di daerah yang sekarang di sebut Kota Jakarta (Jakarta diambil dari kata Jayakarta) lebih dekat dengan orang Eropa lain seperti Inggris dan Perancis. Atas restu wali Raja Banten Belanda menyingkirakan Pangeran Jayakarta dan orang Inggris dan Prancis. Sejak itu Batavia menjadi benteng dan sekaligus menjadi pusat kekuatan VOC yang terus berkembang.
Hubungan antara Banten dan VOC yang semula baik perlahan-lahan berubah sejak naiknya Sultan Banten Abdulfattah yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1661. Sultan Ageng Tirtayasa tidak menyukai Belanda karena dianggap sebagai penghalang perdagangan Banten. Pada tahun-tahun awal pemerintahannya ia berhasil mengembalikan kekuatan perdagangan kerajaan Banten.
Sultang Ageng mengadakan penyerangan-penyerangan gerilya terhadap Batavia baik lewat darat mapun lewat laut. Pada tahun 1666, dua kapal Kompeni Belanda dirampas oleh Banten dan perkebunan tebunya dirusak. Sultan Banten pun tidak bersedia menerima utusan VOC, sehingga orang-orang Belanda yang berada di Banten merasa tidak aman. Diam-diam mereka meninggalkan Banten. VOC memblokir pelabuhan Banten sehingga merugikan perdagangan Banten. Karenanya Sultan terpaksa melakukan perundingan dengan Belanda.
Perundingan berlangsung sangat ketat. Belanda tetap mempertahankan keinginannya melakukan perdagangan monopoli di Maluku dan Malaka yang sulit diterima oleh Banten. Akhirnya disepakati bahwa Belanda tetap mengadkan perdagangan dengan Maluku dn membayar ganti rugi kepada Banten. Berkat usaha Sultan Agen Tirtayasa perdagangan Banten berkembang dengan pesat sampai ke Persia, Suria, Mekkah, Koromandel, Benggala, Siam, Tonkin dan Cina. Dalam perdagangan ke luar negeri itu Sultan banyak dibantu oleh Inggris dan Denmark.
Keadaan tenang itu berakhir pada tahun 1676 ketika putra sulungnya kembali dengan gelar Sultan Haji yang sangat pro-Belanda. Ketegangan dengan Kompeni memuncak pada tahun 1680 dengan berkahirnya perang Trunojoyo. Sultan Ageng yang makin bertambah usianya harus menghadapi Kompeni dan putranya, Sultan Haji.
Pada tanggal 27 Pebruari 1682 Istana Sultan Haji di Surosowan diserbu pasukan Banten. Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji berhasil mempertahankan diri dengan semua syarat yang diajukan Belanda bahwa semua orang Eropa (Inggris dan Portugis) harus meninggalkan Banten. Pada bulan Agustus 1682 Sultan Haji menandatangani perjanjian yang mengakui kekuasaan Kompeni Belanda.
Sultan Ageng yang sudah terdesak terus melancarkan perlawanan hingga pada tahun 1683, pada tahun itu juga ia ditangkap dan wafat di penjara. Jenazah pejuang syahid ini dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten yaitu di sebelah utara Masjid Agung Banten. (Rahimsyah).